Coba ingat-ingat, sudah berapa kalikah anda berburuk sangka sama orang lain? Dari mulai yang skalanya kecil (misalnya lihat sikap temen yang mendadak ramah ke kita, terus kita pikir ‘nih orang pasti mo pinjem duit!), sampai ke skala yang besar (misalnya dengan serta merta menuduh temen nyolong CD!). Untuk menghilangkan ‘negative thinking’ dan merubahnya menjadi ‘positive thinking’ emang bukan perkara mudah! Perlu ada niat kuat dari dalam diri kita, bahwa everything around us is fine!
Nah, saya termasuk orang yang gampang-gampang susah untuk melupakan sifat buruk sangka! Selama ini saya sudah berusaha mati-matian menghilangkan sangkaan buruk pada orang lain! Memang sih sangkaan buruk saya saat ini tidaklah separah jaman sekolah dulu! Kalo dulu saya suka berpikir butek bila lihat teman kecewas-keciwis bisik-bisik cekikikan deket saya, pasti nih lagi ngomongin saya! (Geer banget ya?). Lalu seiring dengan bertambahnya usia, pikiran buruk lihat tingkah teman jadi berkurang. Malah sekarang cenderung ga peduli!
Namun akhir-akhir ini, penyakit masa lalu itu muncul lagi! Tapi tentu tidak separah dulu sih, dan sangkaan buruk ini pun sebetulnya ‘ga buruk-buruk’ amat :O . Misalnya seperti dua minggu lalu, jam makan siang saya niat jalan sendiri ke Pasar Baroe. Saat naik angkutan umum di dalamnya ada 3 orang pria bertampang sangar. Saya sebagai satu-satunya penumpang selain mereka, mendadak didera pikiran buruk: jangan-jangan nih kelompok copet? apalagi mereka duduk didekat pintu yang menghalangi jalan penumpang lain dan salah satu dari mereka (yang paling tua) malah sesekali nampak menatap saya. Alhasil sepanjang jalan saya komat-kamit berdoa mohon selamat dan moga-moga ada penumpang baru yang masuk. Untungnya, tak lama kemudian angkot di stop dua cewek SMA. Dan beberapa menit setelah angkot melaju kembali, salah satu pria yang paling muda turun dari angkot dan bayar ke sopir. Fpuuih...ternyata mereka bukan kelompok copet! Rupanya saya terlalu parno melihat tampang sangar orang-orang tadi!
Terakhir, sifat buruk sangka diterapkan pula di kantor! Begini ceritanya: saya punya teman -sebut saja si A- dia tidak pernah terlihat menjalankan ibadah pada saat jam-jam ibadah. Kami –sebagai teman- tentu saja prihatin lihat si A, pengennya negur dia dan bertanya 'kenapa udah seumur gitu ga beribadah ? tapi kami ragu, apakah tepat kita mengurusi prinsip seseorang?. Padahal kami –terutama saya- paling ngeri kalo ada orang seagama dengan saya tapi orang itu tidak menjalankan ibadah sesuai agama! Bagi saya, lebih baik berteman dengan orang yang beda agama tapi dia taat menjalankan agamanya itu daripada berteman dengan orang seagama tapi kenyataannya dia sama sekali tidak menjalankan kewajiban agamanya dengan baik (malah cenderung seperti tidak beragama). Kalo masih anak-anak-atau paling banter ABG lah- mungkin masih wajar ( sebenarnya menurut ajaran agama saya, bila seorang anak yang sudah masuk usia 10 tahun ga shalat maka dia harus dipukul!). Tapi si A ini kan sudah dewasa, malah bakal menjadi seorang ‘Ibu’. Ya...si A tercinta ini memang sedang proses untuk menjadi seorang ibu!. Oleh karena itu, kami sangat menyayangkan sekali jika hingga dia memiliki anak tetap belum menjalankan ibadah. Secara kelak dia akan menjadi model bagi anaknya!. So, bagaimana mo mencetak anak yang saleh, jika si ibu- sebagai panutan- tidak bisa dijadikan acuan ‘kesalehan’ itu?
Kami sesekali saling bertanya –kok bisa ya si A seperti itu? Padahal kami lihat dia dibesarkan di lingkungan cukup religious (ukuran religious ini kami nilai dengan melihat salah satu kakaknya berhijab! orangtuanya pun sudah pernah berangkat ke tanah suci- dan orangtua perempuan pun sepertinya memakai hijab juga!. Lantas kami berpikir ‘apakah mungkin sang orangtua si A dulu tidak mendidiknya dengan baik ? dalam arti, membiarkan si A tidak menjalankan ibadah, tidak memukulnya (dengan sayang) saat dia menolak beribadah? Hingga saat ini si A –tanpa beban- tidak menjalankan ibadah?
Semua prasangka buruk pada si A tersebut terus berjalan sampai kemudian, kemarin – saya sekamar dengan si A! Seperti biasa, dua minggu sekali kantor saya slalu ngadain meeting di hotel sampe larut malam. Kami pun diberi fasilitas untuk menginap di hotel tersebut. Kalo biasanya saya sekamar dengan teman saya yang lain, mendadak saat itu saya sekamar dengan si A. Si A sudah jalan lebih dulu ke hotel. Sementara saya menyusul ke hotel sekitar waktu magrib. Saat saya masuk ke kamar hotel itulah, saya lihat si A sedang menjalankan ibadah dengan khusyu. Jujur saya surprise lihat si A! ternyata selama ini si A tetap beribadah diluar pengamatan kami! Memang, kami cuma menilai seseorang beribadah atau tidak dengan tolak ukur kehadiran di mushola atau minimal di toilet untuk ambil wudhu! Dan selama ini kami belum pernah bertemu si A di toilet sedang ambil wudhu, atau sedang sholat di mushola kecil kami. Maklumlah, mengingat kantor kami yang tidak begitu besar – dan toilet serta mushola di lantai kami cuma satu-satunya, maka di dua tempat itu kami selalu bertemu orang-orang yang sama. Nah..kawan saya si A kebetulan jarang ke toilet di lantai kami! dia lebih memilih toilet di lantai lain - katanya karena di lantai lain lebih bersih dan sepi!. Kupikir mungkin si A pun melakukan ibadah di lantai lain, mengingat di lantai kami jumlah pemakai lebih besar dari luas mushola.
Saya jadi ingat, waktu dulu kami membicarakan si A yang dianggap tidak suka beribadah, teman saya yang lain bilang bahwa saat dia bersama si A jalan-jalan ke mall, A pernah beli perlengkapan ibadah buat disimpan di mobilnya!. Saat itu kawan saya cuma berpikir 'ah paling tu' perlengkapan cuma ditaro begitu aja di mobia buat yang pinjem'. Sekarang ternyata? hm..tega bener ya kami telah menduga 'jelek' prilaku si A! Lagipula sebenarnya ibadah itu kan bentuk hubungan unik antara manusia dengan Tuhannya. Tak perlulah orang lain tau apakah kita suka beribadah atau tidak!. Cukup hanya Tuhan yang tau!. Apakah supaya orang lain ga nuduh kita atheis, lantas kita harus mendemonstrasikan depan orang bahwa kita suka beribadah - misalnya dengan rajin ke mesjid, ke gereja atau ke kuil? itu sih namanya ria' !
Jujur, sekarang saya menyesal telah berburuk sangka dengan si A! tapi di lain hal, tentu saja saya senang, karena ternyata dia tidak seperti yang kami duga! Saya yakin, dia bakal jadi calon ibu yang baik bagi anaknya kelak!
seperti kata Tukul: don't judge the book by it's cover...
ReplyDeleteAku jg kdg mengalami hal spt itu, ternyata tidak semua yg luarnya duri isinya duri jg. Contohnya durian....lohh...kok ke durian ya...hehehe
ReplyDeleteHello! Visiting back here, happy day I wish you friend :)
ReplyDelete@Joe: itu juga diterapkan buat Tukul ya?
ReplyDelete@Bunda Nayla: rupanya galak padahal isinya lembut ya?
@Lengyel Jola: thanks for coming
Salam
ReplyDeleteMenyapa kawan dihari Sumpah Pemuda...
Mohon berpartisipasi dan dukungannya kawan...
Salam Kawan
:)
ReplyDeletejust wanna smile and say Alhamdullilah.....
NIsa: :D alhamdulilah...
ReplyDeletewah, kayaknya bunda sering deh berburuk sangka gitu kalau lihat penampilan orang2 yang menyeramkan ditambah tingkah lakunya yg juga tdk senonoh.
ReplyDeletemungkin bukan buruk sangka, hanya sedikit waspada saja, itu lebih baik ya Popi .
salam
memang musuh terberat seseorang adaLah mampu untuk mengaLahkan diri sendiri, karena biLa sudah mampu untuk mengaLahkan diri sendiri maka tentunya prasangka buruk atau rasa ingin menyaLahkan orang Lain bisa di redam dengan sedemikian rupa sebeLum mendapatkan bukti2 pasti.
ReplyDelete