Wednesday, February 12, 2014

Dicari: KRL yang Nyaman dan Aman

Untuk kesekian kalinya saya ingin bercerita tentang pengalaman di kereta Commuter Line relasi Bogor-Jakarta dan sebaliknya. Yah, sebagai seorang Roker (Rombongan Kereta) tentu banyak banget cerita yang perlu diceritain lagi.

Sudah lebih dari 10 tahun saya menggunakan moda transportasi ini.
Saya pernah menikmati kereta ekonomi yang umpel2an. Duduk bareng penjual sayur dan kakek2 bawa keranjang berisi ayam/bebek. Pernah merasakan panas kuping karena segerbong dengan kelompok orang2 yang bicaranya sembarangan dan lempar lelucon yang seringkali saru. Di kereta ini kita juga bisa mendadak bertemu pencopet, baik yang beraksi tunggal maupun duet, trio bahkan kuartet.

Saya pernah menikmati kereta Pakuan yang eksklusif, khusus mengangkut penumpang yang naik/turun di stasiun-stasiun besar seperti Bogor, Manggarai, Gambir dan Kota. Keretanya dingin, nyaman dan aman buat anak2, lansia dan ibu hamil. Perjalanannya pun terasa singkat ke tujuan. Begitu masuk gerbong, duduk, tidur, pas bangun udah sampe Manggarai. Indah sekali.

Kedua jenis kereta di atas kini tinggal cerita lalu. Saat ini masanya kereta commuter line. Kereta yang diharapkan sebagai 'perbaikan' dari kereta2 sebelumnya, namun pada kenyataannya masih belum ada perbaikan apa2.
Commuter line merupakan kereta ber'aroma' gabungan antara ekonomi dan ekonomi AC. Gerbongnya ex-Eko AC, namun kondisinya ekonomi. Seperti ini kondisinya: kereta berhenti tiap stasiun, masih sering mogok berjam-jam, penumpang setiap gerbong berjubel, AC kadang ga jalan, akibatnya udara terasa sesak, pengap dan puanassss...karena pintu dan jendela yg terkunci. Silahkan anda bayangkan sendiri!

Bagi saya, naik Commuter Line adalah 'perjuangan'. Terutama pada saat jam2 sibuk kerja (pagi - sore).
Penumpang harus siap fisik dan mental memasuki kereta ini. Fisik untuk bersikut-sikutan dan dorong-dorongan dengan penumpang lain. Mental untuk menghadapi omelan dan cacian orang2 yang masih belum siap dengan kaki keinjak, muka kena sikut dan sebagainya. Tak heran, setiap kali akan naik kereta ini jantung saya dag-dig-dug serasa akan lomba lari. Utamanya saat kereta terlambat datang, sementara penumpang di stasiun sudah berjejal dan masing2 siap berebut masuk gerbong dan rebutan kursi. Sungguh saya benci saat-saat seperti ini.

Hal positif dari pengalaman 10 tahun malang melintang di kereta: saya sudah tidak lagi mudah marah dan merengut saat ada orang yang tidak sengaja menginjak kaki atau sengaja bersender di punggung saya.
Dulu saya suka marah saat ada penumpang yang saat masuk gerbong main dorong atau saat ada yang seenaknya bersender di punggung saya sambil main HP. Saya kadang suka ikutan ngomel kepada penumpang yang dengan teganya tidak mau memberikan kursinya kepada ibu hamil, meski si petugas sudah memohon keridhoannya berkali2. Sekarang saya mulai 'maklum' dengan sikap penumpang 'tega' tersebut. Suatu kemunduran kah? saya maklum karena saya pernah merasakan posisi si penumpang 'tega' itu, meski saya belum sampe menolak kasih kursi ke ibu hamil.

Untuk memperoleh kursi di kereta, kita harus berjuang dengan cara ikut kereta ke arah Stasiun Kota. Rebutan pula. Lalu, saat kita sudah dapat kursi, mulai terasa ngantuk karena lelah kerja seharian, eh..mendadak kita dicolek petugas yang meminta kita untuk memberikan kursi pada ibu hamil.
Haruskah kursi 'hasil perjuangan' kita diberikan begitu saja? sementara saat yang sama kita pun merasa ngantuk dan badan capek.
Kita udah berusaha rebutan duduk di kursi aman alias bukan di kursi khusus. Hingga saat kita dicolek petugas, rasanya kita pengen bilang..."terus kursi mana donk yang aman supaya ga diusir2?".
Seringkali saya mendengar obrolan beberapa penumpang wanita tentang kondisi tersebut. Menurut mereka, harusnya ibu hamil ikut 'berjuang' juga dengan cara naik kereta ke Kota. Jangan cuma ngandelin belas kasihan orang. Kupikir, iya juga sih. Cuma gimana kalo si ibu hamil naiknya dari Stasiun Tebet, cawang, dst. yang jauh dari Kota? masa kudu ke Kota dulu?
Terus ada juga temen kantorku yang bilang 'harusnya mereka (ibu hamil) jangan naik kereta, naik angkot atau taksi saja!'. Halah....memang semua orang hamil banyak duit? berapa ongkos taksi dari Cawang ke Bogor? Temenku ini ngomong seenaknya saja, mungkin karena dia banyak duit jadi dipikirnya semua orang sama dengan dia. Ckckck...

Sikap berani 'tega' di atas tidak hanya terhadap ibu hamil. Lansia, orang cacat dan ibu bawa anak pun sekarang sudah tidak diistimewakan oleh para penumpang lain. Sekarang masing-masing orang berpikir bagaimana supaya dirinya nyaman dan aman. Masa bodo dengan orang lain. Hanya beberapa gelintir saja penumpang yang masih ada rasa 'ga tega'. Atau mungkin tepatnya 'ga enak'.

Adanya perubahan pola pikir dan sikap penumpang seperti itu, siapa yang perlu disalahkan? PT KAI! Karena perusahaan ini tidak berhasil menyediakan transportasi yang nyaman dan aman buat semua penumpang, khususnya penumpang spesial (Lansia, ibu hamil, cacat dan anak2). Kereta sekarang sudah tidak nyaman buat mereka. Not recommended! Kalo mau pergi ke Jakarta, mending cari alternatif lain. Kecuali kepepet waktu dan 'kantong'.
Saat jam pergi atau pulang kerja, saya bertemu dengan 'penumpang2 spesial' tadi, ingin sekali saya kasih saran supaya cari alternatif lain atau paling tidak..mereka jangan naik kereta pas jam pergi atau bubaran kantor. Setidaknya selain jam kantor, mereka ada kemungkinan dapat kursi. Meski kereta penuh, sepanjang mereka duduk, mereka bisa lebih aman.

Bayangkan, dari 10 tahunan saya naik kereta, kesempatan saya duduk nyaman di kereta cuma 1/4 -nya dari jumlah itu. Sebagian besar waktu saya dihabiskan dengan berdiri. Baik berdiri dengan posisi doyong, maupun berdiri nyaman sambil tidur nyenyak (hahaha..).
Percayalah, kalo gerbong penuh sesak penumpang, anda berdiri tanpa pegangan pun ga akan jatuh, bahkan anda bisa tidur nyenyak seperti saya. Tentu itu hanya bisa dilakukan saat naik kereta pada jam-jam kantor. Selain dari jam-jam itu, anda perlu berpegangan erat saat berdiri.

Bisa "duduk" adalah suatu anugerah dan bukan perkara mudah. Meski duduknya nyempil, bikin pinggang sakit, segitu juga Alhamdulillah. Bagi penumpang yang berdiri, melihat penumpang di depannya sedang duduk sampai tertidur ngorok rasanya iri luar biasa. Dalam hatinya berharap, kapan nih orang turun?
Untuk mengetahui dimana penumpang yang duduk akan turun, kita bisa mendeteksi dari gerak-geriknya saat duduk. Bila dia duduk sambil tertidur ngorok, pasti turunnya jauh. Paling banter, dia turun di satu stasiun sebelum stasiun akhir. Orang yang berdiri di depannya adalah orang yang tak beruntung.
Sementara itu, bila ada orang duduk dengan gelisah, trus sekali-kali melihat ke jendela sambil memperhatikan nama stasiun, pasti orang ini mau turun di stasiun terdekat.
Tapi, saya pernah tertipu juga dengan gerak-gerik orang seperti ini. Kupikir orang yang duduk depan saya akan turun di stasiun terdekat, ternyata dia turun di Bogor juga. Rupanya sikap gelisahnya muncul karena ini baru pertama kali dia naik kereta dan dia khawatir stasiun Bogor bakal terlewat. Krik...krik...krik..

Saya adalah jenis orang yang ga tahan duduk lama dibandingkan berdiri lama. Pergelangan kaki saya pegal kalo tertekuk lama. Apalagi kalo orang yang berdiri di depan kita mendesakkan lututnya ke lutut kita. Benar2 ga nyaman. Maka, beruntunglah orang yang berdiri depan saya. Saya seringkali beranjak dari kursi paling cepet di stasiun Depok (sebenarnya dari stasiun Ps. Minggu saya udah ga tahan pengen berdiri. Namun karena penumpang masih berjubel, jadi saya bangkit dari kursipun ga bisa).
Meski saya tahan berdiri lama, tapi rasa ingin duduk tetap ada. Sekalipun saya baru dapet duduk satu stasiun sebelum saya turun, lumayan untuk sekedar meluruskan kaki.
Sayangnya, seringkali orang yang duduk depan saya 'tidak berperasaan'. Meski dia udah puas duduk dari stasiun hulu sampai stasiun hilir, berjam-jam pula (apalagi jika keretanya gangguan) tapi tak sedikitpun dia bangkit menggantikan posisi saya berdiri. Kebanyakan penumpang baru 'bangkit' pas sampe stasiun yang dituju. Masih mending kalo stasiun yang dituju masih jauh dari Bogor, nah kalo sama2 turun di Bogor?
Penumpang jenis ini (yang tak 'berperasaan') selain tidak punya 'hati', mereka juga rupanya terlalu 'meresapi' slogan iklan furniture jaman dulu:....Kalo sudah duduk, lupa berdiri.


14 comments:

  1. Kalau berdiri lama diam ditempat aku gak kuat mbak, tapi kalau berjalan lama aku kuat. Berdiri lama bikin pusing

    ReplyDelete
    Replies
    1. berjalan lama tentu menyehatkan daripada berdiri berjam2

      Delete
  2. Hiruk pikuk di kereta ngeri juga ya, Mba.
    Tak kr pencopet ada di bis saja. :)

    Brarti, umpel2an bgtttt. Gak iso geser2. . .

    Sabar ya, Mba. Tungfu 10 Tahun again. Hahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. kalo dalam 10 thn ke depan belom juga berubah. itu terlalu ya mbak

      Delete
  3. indah mana coba, aku pernah sekali merasakan naik di atap KRL dengan angin yang sepoi-sepoi kering dan kasar. kayak superman banget rasanya. ehh, suparman, maksudku.

    ReplyDelete
  4. 10 tahun membuat kita lebih bijak saat naik kereta di indonesia...karena fakto kenyamanan dan keamanan masih jauh dari yang kita harapkan.... keep happy blogging always...salam dari Makassar :-)

    ReplyDelete
  5. Halah...kalau g suka g ush naik buuu..... Hiddup itu pilihan, jgn suka ngeluh...
    Kl g suka pt kai, jgn pake toh ntr bangkrut snddiri. Udh tau kualitas layanan buruk,masih aja dipake... Asal tau aja itu pt kai commuter swasta....swasta itu nyari untung..

    ReplyDelete
    Replies
    1. sayangnya KAI belum ada saingan. kereta masih dimonopoli. Jadi ga ada pilihan lain..

      Delete
  6. Tiket murah bukan berarti murahan, kembalikan saja spt sblmnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. setuju. mending kembali ke jaman Pakuan dan ekonomi.

      Delete
  7. Pengalaman yang tampaknya standar dari orang yang telah 10 tahun memakai moda transportasi komuter.
    Aku baru awal tahun 2014 mulai sering memakai komuter, secara reguler stasiun Serpong - Tanah Abang, Sudirman, dan Palmerah.
    Mulai 24 Februari akan menjadi tiap hari, dari dan pulang ke Serpong, karena pindah domisili ke sana sejak menikah.
    Lantas bagaimana tipsnya? Tidak ada lain, kita harus bersama-sama menuntut pemerintah memberi pelayanan transportasi massal yang nyaman, aman dan terjadwal rapi.
    Bayangkan jika para pemakai komuter tersebut setengahnya saja memakai kendaraan pribadi ke Jakarta.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Pemerintah, dalam hal ini PT KAI sudah sering menerima protes, kritikan dan masukan dari komunitas pemakai KRL (KRL Mania), tapi sepertinya mereka tidak bergeming.
      Monopoli di bidang kereta api, membuat kita dihadapkan pada tidak adanya pilihan meski pelayanan KRL masih minim.

      Delete

Orang Yang Baik Adalah Yang Mau Menerima Kritik Dari Manapun, Sekalipun Kritik itu Buruk.