Namun bukan soal
perpanjangan masa SfH dan WfH yang akan dibahas dalam tulisan ini, tapi
bagaimana kita menyikapi efek pandemi Corona.
Di sisi manakah kita selama
ini, apakah termasuk yang suka 'menggerutu' ataukah termasuk kelompok yang
pandai 'bersyukur'?
Semua orang marah pada
pandemi ini, sudah pasti. Utamanya, karena Corona banyak memakan korban jiwa.
Pandemi juga telah
memenjarakan kita – semua para penghuni bumi tanpa kecuali. Ruang gerak
dibatasi, yang suka travelling dipaksa untuk duduk manis di rumah. Yang hobi
belanja, simpan saja uangnya untuk tahun-tahun berikutnya. Dan yang senang
kumpul-kumpul, silahkan menghibur diri di group Whatsapp atau aplikasi chat
lainnya. Jelasnya, semua dipaksa banyak bersabar dan ‘tahan diri’.
Sementara bagi mereka yang
bersyukur, tentu bukan bersyukur penyebaran virusnya, tapi lebih ke arah melihat
sisi baik efek pandemi. Pandemi membuat kita lebih banyak diam di rumah. Anggota
keluarga yang selama ini sibuk dengan dunia masing-masing, kini bisa berkumpul
dan mengakrabkan diri kembali. Seorang ibu pekerja, bisa menemani anaknya belajar
dan mengajaknya bermain, begitu pula Ayah.
Atau mungkin ada juga yang mendadak
tersadar bahwa ternyata diam di rumah terlalu lama membosankan juga, sehingga yang
sebelumnya berniat untuk resign dari status Pegawai Negeri Sipil
(PNS) jadi dipikir ulang. Tambahan lagi, melihat kenyataan bahwa pandemi yang
memukul dunia usaha hingga berujung PHK, nyatanya hanya sedikit berimbas pada mereka
yang berstatus PNS. Status pegawai masih ditangan dan tetap terima gaji plus
tunjangan. Maka, nikmat Tuhanmu mana lagikah yang Engkau dustakan? (Qs.
Ar-Rahman).
Tanpa disadari, Corona juga telah
mengistirahatkan bumi. Gerakan #DiRumahSaja yang
digaungkan di berbagai negara termasuk Indonesia, membuat bumi sejenak terbebas dari segala
macam polusi. Bayangkan, selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB),
jalanan sepi dan lancar jaya. Dan kondisi seperti ini apakah bisa seterusnya
meski pandemi berakhir? Kemarin PSBB dilonggarkan sedikit saja, jalanan kembali
'semarak' dan lautan manusia memenuhi semua sudut pasar.
Bahkan bulan suci Ramadhan kali
ini terasa 'lain'. Umat islam 'dipaksa' untuk lebih banyak diam di rumah, beribadah. Bukan tawaf
di mall, seperti kebiasaan beberapa orang tahun-tahun lalu (termasuk saya).
Kita dipaksa untuk lebih banyak merenung, bersyukur dengan apa yang didapat dan
ikhlas dengan apa yang terjadi. Kepekaan
sosial kita pun diuji. Sesekali lihat kiri-kanan, depan-belakang, apakah ada
yang terpuruk ekonominya karena Corona? Buka mata, buka hati. Jangan segan
untuk merogoh kantong, meski sedikit tapi sangat berarti.
Beberapa hari ke depan Idul
Fitri akan tiba. Lalu bagaimana nanti hari lebaran silaturahmi? gampang, ada
berbagai pilihan aplikasi tersedia. Jangan lupa undang teman dan sanak saudara.
Ikuti anjuran Pemerintah: tidak perlu mudik atau kumpul keluarga lebih dari 5. Cukup
sampaikan ucapan maaf dan hari raya lewat aplikasi tadi. Yang penting maknanya
bukan medianya. Meski jauh di mata, namun tetap dekat di hati.
Hingga saat ini tidak ada ahli
yang bisa memprediksi kapan pandemi Corona akan berakhir. Lantas apakah kita selamanya
akan berdiam di rumah menunggu sesuatu yang tak pasti? SfH dan WfH tidak mungkin
seterusnya. Kehidupan harus tetap berjalan. Pada akhirnya kita memang
harus ‘berdamai’ dengan Corona. Dalam arti kata, kita kembali ke kehidupan normal,
meski Corona masih di sekitar kita. Namun kehidupan ‘normal’ yang sekarang tidak
sama seperti sebelumnya. New normal life, begitu istilahnya.
Anak-anak akan kembali ke
sekolah, karyawan kembali ke kantor, pedagang kembali ke pasar, tapi mereka tetap
harus jaga jarak dan membiasakan gaya hidup sehat. Gunakan masker saat keluar
rumah, rajin cuci tangan dan jaga daya tahan tubuh dengan makanan bergizi dan asupan
vitamin. Berat memang, tapi mau gimana lagi? Corona masih disekitar kita dan siap mengintai siapa saja yang lengah dan tak berdaya.
Satu hal paling penting:
tetaplah berpikir positif.
Percayalah, Tuhan tidak pernah menciptakan sesuatu
dengan sia-sia. Pasti ada makna luar biasa dibaliknya.
Bogor, 20 Mei 2020, pada
suatu hari di teras rumah saat pandemi melanda.
saya di Brebes, andai saja masjid dan musholla tidak bikin aturan atau tidak mengikuti anjuran pemerintah, rasanya berita tentang Corona itu cuma dongeng atau hoax. kehidupan di sini biasa-biasa saja, apalagi di sini sejauh telinga mendengar belum ada yang positif. di berita ada beberapa yang dinyatakan positif, tapi Brebes di pegunungan yang bahasanya sunda yang bagi kami orang pesisir nggak terlalu dianggap. katanya sih karena bawang merah Corona jadi nggak bisa bergaya di sini. tapi entahlah
ReplyDeleteTetaplah disana, lebih aman.
ReplyDeletePandemi emang hebohnya di jabotabek dan beberapa kota besar. Smoga saja ga nyebar ke pelosok.