Ramadhan kemarin benar-benar Ramadhan yang penuh kesan buat saya. Selain disibukan dengan ibadah, saya juga disibukan dengan sekolah anak-anak. Ya, ketiga anakku berbarengan keluar-masuk sekolah. Si sulung keluar SMP, si tengah keluar SD, dan yang cilik keluar TK. Ampun...benar2 diluar perkiraan saya. Dulu pas hamil saya ga pake planning apa2, misal jarak antar anak harus sekian-sekian supaya pas sekolah ga repot. Saya sih mengalir begitu saja.
Dan sekarang, baru terasa efeknya kalo beranak tanpa rencana..heheh.
Tentu yang terasa repotnya, saat kedua anak lelakiku menempuh UN dan berjuang masuk sekolah pilihan dengan sistem online. Saat UN, cuma pas Yasser (anak kedua) saya bela-belain cuti kerja. Karena anakku satu ini, tipe yang super santai. Kalo belajar engga dipantengin ibunya, maka dia milih main game di laptop.
Saat pembagian hasil UN, saya tadinya berharap banyak pada si sulung (Yassin). Saya harap dia dapat nilai maksimal hingga bisa masuk sekolah negeri favorit di Bogor. Saya sempet agak sedikit kecewa saat penerimaan hasil UN-nya, namun kekecewaan saya tidak lama. Saat anak saya melihat hasil UN-nya yang berada di tangan saya dan dia langsung mengucapkan alhamdulilah, saat itu juga saya sadar bahwa anak saya sudah berusaha keras dengan UN-nya. Dan mungkin saat itu dia sendiri ragu bakal dapat nilai segitu. Mungkin estimasi dia jauh dibawah itu.
Lalu, saat penerimaan hasil UN Yasser, suamiku lebih lucu lagi. Pertama dia senang banget saat melihat hasil UN putra keduanya - yang terkenal males belajar- tapi bisa memperoleh nilai sama dengan nilai UN kakaknya dulu. Dulu, Yassin, dengan nilai yang sama dengan Yasser sekarang, sebenarnya bisa masuk SMP negeri favorit di Bogor, tapi saat itu dia malah milih SMPnya sekarang yang rankingnya ketiga di Bogor. Nah, berbekal nilai Yassin itu, suamiku pun yakin bahwa Yasser pun bisa masuk SMP favorit no 1. Tapi suka cita suamiku tak lama, saat dia melihat lampiran daftar nilai UN teman2nya Yasser yang gila2an (=tinggi). Kok nilai anakku jadi terlihat kecil yo? gumam suami. Padahal mata pelajaran yang diujikan sama 3 biji, dan nilai2nya pun kalo dibagi 3 rata-ratanya jadi 9. Tapi kenapa nilai itu tetep terlihat kecil ? oh...berarti jaman Yassin dulu nilai UN lebih kecil2 kali ya? anak-anak jaman Yasser sekarang berarti lebih pintar2 dan nilai UN nya tinggi2.
Ketar-ketir lihat hasil UN berlanjut saat mulai pendaftaran online. Saya sedikit tenang setelah tau kalo Yassin maupun Yasser didaftarkan via sekolah masing-masing. Saya sendiri belum berpengalaman daftar sekolah sistem online.
Namun ketenangan saya tidak lama, saat nama anak saya mulai muncul di situs PPDB dan di sekolah yang dituju. Oiya, khusus Yassin, karena dia yang pertama daftar online, saya serius bukan main. Sebelum pilih sekolah, saya sibuk browsing tentang itung-itungan passing grade SMA. Semua blog dan situs yang bahas passing grade saya lahap. Termasuk mencoba terapkan itung2an para pakar bagaimana menentukan passing grade dan mana kira2 sekolah yang passing grade-nya pas dengan nilai UN anak kita.
Hasil dari browsing saya itu, dicetuskan dengan ide pemilihan SMA untuk Yassin yang -menurut saya- passing gradenya bakal sesuai dengan nilai UN dia.
Lalu, bagaimana hasilnya? cuma beberapa menit setelah nama anak saya muncul di SMA pilihan I, menit berikutnya namanya sudah tak ada, alias terdepak ke SMA pilihan ke II. Ya Allah...padahal itu hari kedua pendaftaran- means masih ada sehari besok yang memungkinkan posisi anak saya tidak aman di pilihan ke II-nya. Saya bener2 menyesal setengah mati. Gara-gara itung-itungan passing grade abal-abal saya maka posisi anak saya jadi tidak aman. Padahal anak saya sedari awal (sebelum ide itung-itungan saya muncul) pengennya daftar di sekolah yang jadi pilihan ke II sekarang adalah pilihan I karena dia sudah merasa ga aman. Hanya ego saya yang pengen dia mencoba ke sekolah yang gradenya lebih tinggi.
Hari terakhir ppdb online menjadi hari kiamat buat saya. Mengamati pergerakan passing grade di sekolah pilihan terakhir anak saya, bener2 nyaris bikin saya passed away. Itu istilah saya untuk menyebut Mati Gaya!. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Jantung saya berdetak cepat tiap kali buka situs ppdb. Saya adalah orang yang paling bersalah kalo sampe anak saya terdepak dari pilihan II.
Berbekal rasa 'bersalah' itu, maka pada hari terakhir pendaftaran tersebut, tepat pada jam 12.00 begitu melihat posisi anak saya sudah tidak aman- saya langsung mengambil keputusan mendaftarkan Yassin ke sekolah swasta yang -katanya- bagus di Bogor. Kebetulan sekolah itu membuka pendaftaran gelombang ketiga (terakhir) pada hari itu juga. Saya-tanpa minta persetujuan Yassin bahkan suami- langsung siapkan berkas2 dan daftar ke sekolah tersebut. Dilalah...ternyata saat itu juga calon siswa pendaftar harus mengikuti serangkaian test, padahal Yassin tidak bersama saya dan sedang bersama teman-temannya menanti detik2 terakhir ppdb online di SMP nya. Saya langsung telpon dan minta dia segera pulang untuk test di sekolah swasta. Tadinya dia menolak keras, tapi setelah saya paksa akhirnya dia pulang dan ikut dengan saya ke sekolah swasta. Tentunya dengan muka cemberut dan males2an.
Berbekal rasa 'bersalah' itu, maka pada hari terakhir pendaftaran tersebut, tepat pada jam 12.00 begitu melihat posisi anak saya sudah tidak aman- saya langsung mengambil keputusan mendaftarkan Yassin ke sekolah swasta yang -katanya- bagus di Bogor. Kebetulan sekolah itu membuka pendaftaran gelombang ketiga (terakhir) pada hari itu juga. Saya-tanpa minta persetujuan Yassin bahkan suami- langsung siapkan berkas2 dan daftar ke sekolah tersebut. Dilalah...ternyata saat itu juga calon siswa pendaftar harus mengikuti serangkaian test, padahal Yassin tidak bersama saya dan sedang bersama teman-temannya menanti detik2 terakhir ppdb online di SMP nya. Saya langsung telpon dan minta dia segera pulang untuk test di sekolah swasta. Tadinya dia menolak keras, tapi setelah saya paksa akhirnya dia pulang dan ikut dengan saya ke sekolah swasta. Tentunya dengan muka cemberut dan males2an.
Ini yang bikin saya sedih dan malu hati : saat test kesehatan dan wawancara, anak sulungku yang dari awal sudah ga mood dan ekspresi mukanya tidak mengenakkan, membuat sang pewawancara dan petugas test kesehatan manggil aku ibunya. Saat di ruang test tanpa kehadiran Yassin, pewawancara langsung bilang "dia daftar kesini atas keinginan ibu ya? " dan si petugas kesehatan juga bilang "keliatan dia lagi bete ya bu?". Saya tak tahan dan langsung jujur bilang kalo anakkku sebenarnya berharap masuk sekolah negeri pilihannya, dan saat saya daftar kesini sebenarnya dia bersama teman2nya sedang menanti detik2 terakhir pendaftaran online- yang akan menentukan aman-tidaknya posisi dia di sekolah pilihan ke II tadi. Untungnya petugas wawancara di sekolah itu mengerti dan kebetulan mereka pun sedang mengamati pergerakan ppdb online juga saat itu. Mereka bilang bahwa hasil test sekolah swasta ini keluar besok, bertepatan dengan hasil penerimaan PPDB. Saya benar2 dibikin double ketar-ketir, pertama: khawatir anak saya benar2 terdepak dari SMA negeri, kedua: anak saya tidak diterima di sekolah swasta ini karena jawaban jujur saya tadi. hiiks.
Saat perjalanan pulang dari sekolah swasta itu, waktu telah menunjukan pukul 15.00 WIB. Yassin yang dari tadi tidak lepas mengamati ppdb online dari hp-nya langsung berseru kalo tabel pendaftar di sekolah pilihannya sudah tidak bergerak lagi. Ppdb online telah resmi ditutup. Anakku yang saat itu pada posisi 193 dari 200 siswa yang diterima, artinya secara tidak langsung sudah diterima di SMA pilihan II tadi. Saya dan Yassin langsung mengucap syukur. Saya usap kepalanya sambil bilang selamat untuknya. Diantara kami, sepertinya saya yang paling lega: karena selamat dari kekecewaannya. Akibat salah dalam itung-itungan passing grade yang nyaris membuat kami salah pilih sekolah.