Sunday, April 13, 2014

Swarna Bhumi : Istana yang ditinggalkan

Sebulan sejak kepindahanku ke kantor baru, baru kali ini saya diajak rekan kantor untuk kunjungan dinas ke suatu lokasi di sekitar Bogor. Pagi itu kami berangkat menuju ke suatu tempat-entah dimana- saya belum tau, karena saya sendiri tadi diajak dadakan. Sepanjang jalan, saya cuma diam membisu, selain karena sebenarnya ga minat pergi, juga karena orang-orang yang duduk di kiri kananku tak dikenal. Mereka sibuk mengobrol, sementara saya sibuk mencari cara bagaimana bisa kabur di tengah2 acara kunjungan. 

Waktu merambat, saat kurasa mobil yang membawa kami menyusuri Jalan Ahmad Yani Bogor dan lalu berbelok ke suatu bangunan yang -saya kenal baik- rasa aras-arasan berubah menjadi antusias. Mata saya mendadak segar dan saya langsung nyerocos 'Serius Bu, kita kesini? saya dari dulu pengennn banget bisa masuk kesini. Ya, ampun..saya seneng banget Bu, untung tadi diajak!' Ibu dan bapak2 sampingku memandangku dengan heran.

Gerbang utama yang kusam

Sungguh, saya kenal betul bangunan yang akan kami masuki ini. Bertahun-tahun saya selalu menatapnya tiap kali melewatinya. Saya masih ingat, saat remaja dulu tiap berangkat sekolah saya selalu melewati bangunan yang bergerbang mewah ini. Kubayangkan menyelusup melalui gerbang utama, lalu berjalan perlahan melewati deretan pohon-pohon palem dan pohon-pohon besar rindang menuju istana yang indah disana. Bangunan ini -Swarna Bhumi- akhirnya saya bisa masuk kesini. Rupanya Tuhan telah memeluk salah satu mimpi masa laluku.

Sejak dulu, masyarakat mengenal bangunan ini sebagai istana atau tempat peristirahatan Alm. Sri Sultan Hamengkubuwono IX beserta istri terakhirnya KRAy Norma Nindyokirono. Dari luar, orang-orang yang lewat hanya bisa melihat gerbang besar bercat putih. Lalu ada sebuah plang besar bertuliskan nama bangunan dan alamat. Tulisan 'Swarna Bhumi" itu yang dulu bikin saya penasaran. Saya selalu membayangkan 'pasti nun jauh di ujung jalan setelah gerbang masuk, terpapar sebuah istana menyerupai keraton jogya'. Sri Sultan dan istri pasti betah tinggal disana, menikmati udara sejuk kota Bogor dengan rasa damai dan tentram.

Menuju pendopo

Dan sekarang, saya berdiri menatap bangunan dan tanah yang luas ini dengan nanar. Kulewati semak belukar, pohon-pohon singkong tak terawat. Tidak ada lagi deretan pohon palem rindang seperti bayanganku dulu. Istana indah itu kini sebagian telah runtuh, kotor, lembab dan gelap. Tidak layak dihuni oleh putri bangsawan, malah lebih cocok didiami oleh mahluk astral - begitu istilah Tukul. Di atas lahan seluas + 14.000 meter ini berdiri beberapa bangunan. Bangunan utama yang besar- tentu ini tempat Sultan dan istrinya- berada di paling ujung jalan. Dari gerbang utama menuju bangunan utama dipenuhi pohon-pohon.

Saya jelajahi setiap sudut bangunan sendirian. Tidak ada rasa takut, yang ada hanya penasaran.
Ada nuansa romantis menyeruak disini. Kubayangkan saat istana itu masih utuh dan bagus. Sultan dan istrinya duduk-duduk di sebuah beranda, tepat dibelakang kamar tidurnya. Taman dan jalan setapak mengelilingi bangunan ini. Mungkin dulu Sri Sultan sering berolahraga jalan kaki, sementara sang istri menyediakan sarapan pagi.


Dalam bangunan utama ini banyak kamar2. Saya menebak2 mana ruang tidur Sultan dan istrinya. Pastilah ruangan yang paling besar dengan kamar mandi berukuran cukup luas. Sekilas saya memasuki kamar mandinya, rasa panas dingin mendadak menyerang. Ini pasti sugesti. Saya pun urung masuk lebih dalam.

Atap pendopo yang masih kokoh

Dari sekian banyak bangunan, hanya satu bangunan yang masih utuh. Sebuah pendopo. Pilar-pilarnya terbuat dari kayu jati asli. Kokoh. Atap pendopo terdapat ukiran dan lukisan kuda. Indah sekali. Seorang Bapak rekan seperjalananku yang mewakili sebuah instansi, tiba2 berdiri di sampingku. Melihatku yang sedang mengagumi atap pendopo ini membuatnya ikut berkomentar. Dia berjanji tidak akan membongkar pendopo ini, meski kelak di atas lahan ini akan dibangun sebuah kantor pemerintahan. Sedikit kuceritakan, lahan luas dan bangunan ini sekarang menjadi milik negara, bukan lagi milik Alm. Sri Sultan dan istrinya. Saya tidak akan menceritakan kenapa menjadi demikian. Saya cuma ingin bercerita tentang sisa-sisa keindahan istana ini dan memahami sedikit nuansa batin mantan penghuninya.

Sejak kepergian Sri Sultan, sepertinya Ibu Norma tidak lagi berniat tinggal disini. Mungkin istana ini terlalu banyak meninggalkan kenangan buatnya. Saya tidak tau, apakah Ibu Norma pernah berkunjung lagi kemari dan melihat kondisi istana yang kini menyedihkan. Bila ya, dan jika saya jadi dia, maka saya akan menangis. Kenangan indah di Swarna Bhumi dengan Sri Sultan tidak akan pernah terlupakan.



catatan:  Sejak kunjungan ke Swarna Bhumi, saya penasaran dengan kehidupan Sri Sultan dan istrinya. Kembali ke kantor saya langsung google searching. Banyak cerita tentang Sri Sultan. Dari sekian banyak, ada satu yang menarik, seperti yang diceritakan di blog Agnes Davonar.